Labuan Bajo - Kegigihan mempertahankan tanah milik warga lokal di Bukit Kerangan semakin tinggi. Ketika 7 orang pemilik tanah di hamparan 3,1 hektar di bukit itu menempuh jalur hukum melalui gugatan perdata dan juga memagari lahan dengan damai.
Namun pemilik tanah semakin pantang mundur, ketika mengalami dugaan intimidasi dari oknum berinisial LMFP dari kesatuan TNI-AD Kodim 1630. Salah sayu pemilik tanah Mustarang menyatakan, sudah melaporkan oknum TNI-AD itu ke Polisi Militer Kodam (Pomdam) IX Udayana di Jl.Udayana no. 1 Kota Denpasar, Selasa (4/11/2025).
"Kami pantang mundur dari kebenaran. Kami hanya takut pada Tuhan. Kami atas nama para pemilik tanah 3,1 ha di bukit Kerangan, Kel. Labuan Bajo, melaporkan oknum TNI-AD berinisial LMFP berpangkat Serka yang bertugas di Kodim 1630 Manggarai Barat ke Pomdam IX Udayana di Denpasar Selasa 4 November 2025," ujar Mustarang dalam keterangan persnya, Jumat (7/11/2025) di Manggarai Barat.
Menurutnya, alasan laporan kami adalah adanya intervensi bernuansa intimidasi dari oknum itu dan kawan-kawannya. Kejadian terjadi setelah kami selesai melakukan pemagaran lahan pada sore Minggu 26 Oktober 2025.
"Padahal dari pihak Polisi dari Polres Labuan Bajo telah selesai bicara di lokasi itu. Dimana suasana kondusif damai antar keluarga dan petugas jaga dari Santosa Kadiman. Kondisinya kami saling memahami dan menghormati hak masing-masing dan mengakui tanah status quo masih dalam proses perkara perdata. Malahan semua senyum-senyum kok, saat kita berkomunikasi dengan Kasat Intel Polres," kata Mustarang.
Akan tetapi kata Mustarang, tiba-tiba afa oknum TNI dengan mobil dinas bersama anggota TNI lainnya bersepeda motor trail TNI muncul di lokasi. Entah siapa yang suruh. Meski sudah dijelaskan situasi kondusif, tapi mereka mendesak
supaya pagar yang kami sudah buat supaya dibongkar lalu dipindahkan lokasinya.
"Padahal Santosa Kadiman dengan tanpa alas hak menduduki tanah kami sejak April 2022, dan sejak awal 2025 ini
melakukan pemagaran lahan. Mereka diam saja. Yah, jelas kami tidak mau disuruh dong bongkar pagar yang sudah kami buat," jelas Mustarang.
"Kami bilang waktu itu, bahwa situasinya kondusif kok, petugas jaga dari Santosa Kadiman dan kami tidak masalah. Lagi pula Polisi dari Polres berada bersama kami, aman-saja. Kita sama-sama memahami bahwa tanah ini status quo sengketa masih dalam proses perkara perdata," tandas Muhamad Hatta, salah satu pemilik di lahan 3,1 hektar sengketa itu.
Salah satu kuasa hukum para petani pemilik 3,1 hektar itu, Irjen Pol (P) Drs. I Wayan Sukawinaya, MSi, Ketua Tim Penasehat Hukum (PH) dari Kantor Advokat Sukawinaya-88 Law Firm & Partners, yang beranggotakan Ni Md. Widiastanti, S.H., Indah Wahyuni, S.H., Dr (c) Indra Triantoro, S.H, M.H, dan Jon Kadis, S.H., ikut bersuara menyikapi kejadian tersebut.
"Itu hak hukum para penggugat yang merasa terganggu dalam proses perkara yang sedang mereka jalani. Kita perlu bersyukur, karena mereka tetap menempuh jalur hukum. Tidak frontal," ujar I Wayan.
Dengan kejadian itu kata I Wayan, pemilik tetap menghormati institusi ini dengan cara melaporkan oknumnya kepada bagian, yang khusus menangani oknum anggotanya yang bertindak di luar batas tugasnya.
"Itu kan berarti rakyat tetap berharap TNI tetap konsisten pada tugasnya, demi kemanan kawasan ini kan?," jelas I Wayan.
Menurut Widiastani, S.H., salah satu anggota Tim PH 7 orang petani di Bukit Kerangan, berdasar informasi yang kami terima dari klien kami, bahwa perlakuan intimidasi tidak saja pada tanggal 26 Oktober 2025. Tapi berlanjut ke hari berikutnya pada tanggal 27 Oktober 2025. Oknum TNI, LMFP tadi
mengajak Muhamad Hatta bersamanya untuk pergi bongkar pagar di bukit Kerangan.
Ditengah jalan, Muhamad Hatta menyadari sendirian, tanpa bersama 7 orang lainnya. Ia segera turun dari mobil, balik ke rumahnya.
"Nah, itu tindakan apa namanya? Itu cara-cara preman yang berlawanan dengan peraturan, apalagi oleh seorang anggota TNI. Oknum seperti ini harus dibina atau segera diambil tindakan supaya kemanan kawasan bersama rakyat selalu terjaga," ucap Widiastani.
Ulah oknum itu berlanjut sore harinya. Ia mendatangi rumah Zulkarnain Djuje di Kampung Ujung di Labuan Bajo, salah satu dari 7 pemilik di 3,1 hektar tanah di Bukit Kerangan itu.
"Iya, oknum TNI itu menemui saya di rumah. Pak Lalu namanya. Ditemani oleh rekan TNI lainnya berpakaian dinas, tunggu di luar rumah. Ngobrol dengan saya selama +- 2 jam lah. Inti pembicaraannya adalah, agar kami membongkar pagar yang sudah kami buat, dipindahkan posisinya," jelasnya.
Zulkarnain mengatakan, dirinya dan teman-teman tidak bisa memutuskan itu.
"Bapak hubungi Para Pengacara kami saja. Telpon saja mereka, kan ada nomor telpon di spanduk yang sudah dipasang di lokasi. Nanti mereka berdiskusi
dengan kami selaku prinsipal", tandas Zul sapaan akrabnya.
Kenapa hal itu bisa terjadi, apa kepentingan oknum TNI tersebut? Menjawab pertanyaan ini, Dr (c) Indra Triantoro, S.H., M.H. menjelaskan, sebagai petugas yang menjaga keamanan teritorial, tentu lembaga TNI mengetahui berita-berita viral media
tentang apa yang sedang terjadi di wilayah Manggarai Barat. Apalagi yang berhubungan dengan ketidaknyamanan hidup berbangsa dan bernegara.
"Sejak tahun awal 2024, ketika ahli waris tanah 11 hektar di Kerangan, Labuan Bajo, menggugat Erwin Santosa Kadiman dan anak-anak Nikolaus Naput, media
viral memberitakannya ke publik. Akhirnya, klaim Santosa Kadiman & Anak Nikolaus Naput atas tanah 40 hektar berdasarkan akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) Januari 2014 menjadi tidak sah, karena
tanah obyek PPJB itu ternyata tidak ada alas haknya," terang Indra sapaan akrabnya.
Menurutnya, memang ada alas haknya 21 Oktober 1991 dan 10 Maret 1990, tetapi terbukti di Pengadilan bahwa surat-surat alas hak itu sudah dibatalkan oleh fungsionaris adat 1998. Dimana tanah tersebut tumpang tindih diatas tanah Pemda dan tanah warga.
"Bahkan surat alas hak 10 Maret 1990 terbukti tidak ada aslinya. Dengan adanya putusan inkrah Mahkamah Agung 8 Oktober 2025, maka klaim hak Santosa Kadiman dan Nikolaus Naput sudah final tidak ada lagi. Penyerobotan tanah oleh Santosa Kadiman jelas sebagai pelaku Perbuatan Melawan Hukum (PMH)," jelas Indra.
Menurutnya, sebagai pejabat negara termasuk oknum TNI,seharusnya sudah mengetahui bahwa Santosa Kadiman sudah terbukti tidak punya hak atas tanah 40 ha. Termasuk inklud terhadap tanah yang ditumpang tindih, sudah terbukti secara hukum sebagai pelaku PMH.
"Ketika pemilik tanah yang ditumpang tindih oleh Santosa Kadiman pagarnya disuruh bongkar oleh oknum TNI. Sementara oknum itu membiarkan pagarnya Santosa Kadiman tetap ada, maka itu mudah disimpulkan bahwa oknum TNI itu ternyata menjadi beking pelaku PMH, yaitu membekingi Santosa Kadiman dari Jakarta, bukan melindungi rakyat petani di kawasan ini yang tanahnya ditumpang tindih," tutup Indra.
Sementara itu Jon Kadis, S.H., warga Manggarai Barat, salah satu anggota
Tim PH 7 pemilik tanah di 3,1 ha Kerangan, Labuan Bajo mengatakan, kehadiran oknum Kodim Manggarai Barat yang baru, mulai beberapa bulan lalu disambut gembira oleh
masyarakat Manggarai Barat. Dimana masyarakat berharap TNI netral turut menjaga keamanan territorial, juga melindungi rakyat/petani sebagai komponen cadangan yang dekat dengan Kodim 1630 di Labuan
Bajo ini.
"Namun harapan ini tercoreng oleh ulah oknumnya yang terang-terangan menjadi beking pelaku PMH. Masyarakat Labuan Bajo tetap butuh petugas TNI yang berintegritas, oleh karena ia wajib mengoreksi manakala oknumnya menyimpang," tukas Jon sapaan akrabnya. (red)
Tags
berita




