Pangkalpinang, Bangka Belitung – Gelombang kemarahan dan kekecewaan melanda masyarakat Bangka Belitung menyusul terungkapnya dugaan praktik penyalahgunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang melibatkan sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). SPBU dengan nomor registrasi 24.331.162 kini berada di bawah sorotan tajam, terancam sanksi berat jika terbukti melakukan pelanggaran hukum yang merugikan negara dan masyarakat luas.
Investigasi awal yang dilakukan oleh tim media pada hari Sabtu, 20 Oktober 2025, di SPBU No.12 yang terletak strategis di Jalan Pangkalpinang-Namang, Desa Jeruk, Kecamatan Pangkalanbaru, Kabupaten Bangka Tengah, mengungkap pemandangan yang memprihatinkan. Antrean panjang kendaraan roda empat yang mengular, menunggu giliran untuk mengisi BBM subsidi jenis Pertalite, menjadi indikasi awal adanya masalah serius.
Namun, yang lebih mencengangkan adalah aktivitas mencurigakan yang terjadi di sekitar SPBU tersebut. Puluhan jerigen terlihat digunakan untuk menampung BBM Pertalite secara ilegal, sebuah praktik yang jelas-jelas melanggar ketentuan yang berlaku. Para "pengerit," yang diduga kuat merupakan bagian dari jaringan penyalahgunaan BBM, dengan leluasa mengisi BBM sendiri tanpa pengawasan atau intervensi dari petugas SPBU.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas dan profesionalisme pengelola SPBU. Apakah praktik ini terjadi karena adanya pembiaran, kelalaian, atau bahkan keterlibatan aktif oknum SPBU dalam praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi? Dugaan keterlibatan ini semakin menguatkan indikasi adanya praktik kongkalikong yang terstruktur dan sistematis.
Penyalahgunaan BBM bersubsidi bukan hanya merugikan negara dari segi finansial, tetapi juga merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat. BBM bersubsidi seharusnya dinikmati oleh masyarakat yang berhak, terutama mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah. Namun, praktik penyalahgunaan ini menyebabkan BBM bersubsidi tidak tepat sasaran, memicu kelangkaan, dan meningkatkan harga di tingkat konsumen.
Aparat Penegak Hukum (APH) memiliki tanggung jawab besar untuk mengungkap dan menindak tegas para pelaku penyalahgunaan BBM bersubsidi. Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjerat para pelaku dengan ancaman pidana penjara hingga enam tahun dan denda maksimal Rp60 miliar.
Namun, penegakan hukum yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar ancaman hukuman. Diperlukan koordinasi yang solid antara berbagai instansi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, pemerintah daerah, dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam memberikan informasi dan melaporkan praktik penyalahgunaan BBM juga sangat penting.
Masyarakat Bangka Belitung menuntut transparansi dan akuntabilitas dalam penanganan kasus ini. Mereka berharap APH tidak hanya menindak pelaku lapangan, tetapi juga mengungkap aktor intelektual dan pihak-pihak yang melindungi atau memfasilitasi praktik penyalahgunaan BBM bersubsidi. Hanya dengan tindakan tegas dan komprehensif, praktik ilegal ini dapat diberantas secara tuntas, dan keadilan dapat ditegakkan.




