Tempilang, Bangka Barat - Mentari pagi, Sabtu (27/09/2025), baru saja menyentuh cakrawala saat Baidi, seorang nelayan Tempilang, memacu perahu kecilnya meninggalkan dermaga. Aroma asin laut bercampur getir dengan pemandangan di ujung sana: deretan ponton raksasa yang menandai batas-batas baru di laut yang dulunya bebas. Baidi, ketua nelayan gabungan Desa Air Lintang dan Benteng Kota, menghela napas panjang. Di wajahnya, terpancar lelah bukan hanya karena kerasnya melaut, tetapi juga karena ketakutan kehilangan mata pencaharian.
"Dulu laut ini halaman rumah kami. Sekarang, halaman itu diikat dengan izin," ujarnya lirih, mewakili suara ribuan keluarga yang menggantungkan hidup pada laut yang kian menyempit.
Di Tempilang, kisah ini bukan sekadar keluhan, melainkan catatan pilu tentang pertarungan antara hak menangkap ikan dan hak yang diklaim oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP). Di atas kertas, IUP itu sah. Namun di laut, ia merampas ruang hidup nelayan tradisional dan menorehkan luka ekologis yang dalam.
IUP di Atas Kertas, Luka di Laut
Data administrasi menunjukkan bahwa PT Timah (Persero) Tbk mengantongi sejumlah IUP laut di Bangka Barat, termasuk IUP Laut Tempilang — DU-1545 — seluas 5.383,49 hektare. Data BPS Kabupaten Bangka Barat (2024) menegaskan bahwa mayoritas penduduk Tempilang bergantung pada perikanan. Ironisnya, angka-angka ini bertransformasi menjadi batas-batas perairan: petak-petak yang ditandai ponton, jalur Kapal Isap Produksi (KIP), dan ruang tangkap yang kian sempit bagi perahu-perahu kecil.
Baidi, bukan mencari ketenaran, menjadi representasi kolektif para nelayan yang berulang kali mengetuk pintu birokrasi tanpa hasil. Tiga dekade melaut, hari-hari terakhirnya dipenuhi kecemasan.
"Kami tidak minta laut berhenti bekerja untuk negara. Kami hanya ingin agar laut tidak dirampas dari kami," tegasnya. Ia menceritakan bagaimana ponton-ponton bekerja tanpa henti, membuat air keruh, dan mengusir ikan dari zona tangkap tradisional. Ia juga menuturkan kecurigaan adanya pengangkutan bijih timah ilegal, di mana hampir satu ton bijih diduga keluar malam hari tanpa penjelasan memuaskan.
Kisah serupa menggema di desa-desa pesisir lain seperti Tanjung Niur dan Sinar Surya. Rusni, seorang perempuan nelayan, kini merenda terasi untuk menopang ekonomi keluarga karena hasil laut yang terus merosot. Meski ada perbedaan kepentingan, satu kesamaan terasa kuat: kecemasan akan masa depan.
Sedimentasi dan Hilangnya Habitat
Kegiatan tambang laut di Tempilang melibatkan beragam alat, mulai dari Ponton Isap Produksi (PIP), Kapal Isap Produksi (KIP), hingga ponton rajuk. PT Timah merilis angka produksi agregat yang menunjukkan aktivitas tambang tetap berjalan. Namun, laporan-laporan itu jarang memecah produksi menurut IUP spesifik, sehingga kontribusi Tempilang sulit diukur secara akurat.
Praktik lapangan yang dikeluhkan nelayan adalah sedimentasi dan kekeruhan air, membuat metode tangkap tradisional kurang efektif. Pergerakan alat berat juga mengubah morfologi dasar laut, membuat jalur melaut berbahaya dan merusak perahu.
Secara regulasi, usaha ini berada dalam kerangka IUP yang diperpanjang. Namun, masalah penegakan, pengawasan, dan transparansi menjadi persoalan besar. Ketika aparatur pengawas internal perusahaan, Satgas perusahaan, dan aparat penegak hukum tidak sinkron, celah muncul bagi praktik penyimpangan dan tambang ilegal.
Dampak Ekologis: Bukti Riset dan Pengamatan Lapangan
Studi dan laporan NGO menunjukkan bukti yang membimbangkan tentang kondisi ekosistem di Bangka Belitung. WALHI Bangka Barat menegaskan bahwa pertambangan laut berdampak serius terhadap terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Laporan WALHI dan kajian media lingkungan menyebutkan pengurangan luas terumbu karang, hilangnya padang lamun, dan abrasi pesisir sebagai tanda kerusakan ekologis yang nyata.
Mongabay dan studi lapangan lain menemukan bahwa sedimentasi mengurangi visibilitas air, menutupi habitat bentik, dan menurunkan populasi spesies ekonomis. Hilangnya mikrohabitat mengganggu rantai makanan lokal, menyebabkan penurunan tangkapan dan munculnya "zona mati" di sekitar area operasi.
Kerusakan ekologis memicu kerentanan lain seperti abrasi pantai, hilangnya garis pantai, dan terganggunya keanekaragaman laut. Ketika fungsi ekosistem terganggu, dampak ekonomi dan sosial segera mengikuti.
Konsekuensi Ekonomi dan Sosial
Penurunan hasil tangkap membawa konsekuensi ekonomi serius bagi keluarga nelayan. Rumah tangga yang sebelumnya bergantung pada laut kini mencari penghasilan tambahan lewat kerja musiman di tambang atau pekerjaan di luar sektor perikanan. Perempuan nelayan semakin berperan sebagai penggerak ekonomi keluarga, tetapi beban itu tidak mudah dipikul.
Data BPS Kabupaten Bangka Barat (2024) menempatkan Tempilang sebagai kawasan dengan proporsi signifikan tenaga kerja sektor perikanan. Penurunan produktivitas perikanan karenanya memiliki implikasi langsung pada ketenagakerjaan dan pendapatan regional.
Konsekuensi sosial juga terlihat dalam konflik horizontal, gesekan antara pendukung aktivitas tambang dan pihak yang mengutamakan keberlanjutan perikanan. Benturan kepentingan ini menimbulkan polarisasi lokal.
Penegakan, Kecelakaan, dan Bukti Kegagalan Pengawasan
Selama 2024–2025, sejumlah peristiwa menunjukkan masalah penegakan di lapangan: kecelakaan tambang, dugaan pengangkutan bijih ilegal, dan operasi penegakan yang berjalan parsial. Laporan media lokal mencatat insiden kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa di lokasi tambang rakyat dan mitra.
Kasus dugaan pengangkutan bijih tanpa prosedur yang dipaparkan Baidi menggambarkan kerentanan pengawasan. Ketika WASTAM, Satgas perusahaan, dan aparat tidak merespons permintaan klarifikasi nelayan, kecurigaan dapat dengan cepat berubah menjadi konflik dan tuduhan.
IUP tidak muncul di ruang hampa, melainkan produk keputusan administratif yang dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi daerah dan perusahaan. Keputusan-keputusan ini memunculkan pertanyaan mendasar: siapa yang menjadi prioritas dalam pembangunan, pemegang modal atau masyarakat lokal?
Lima Tuntutan Nelayan
Dalam berbagai pertemuan desa dan aksi kecil, nelayan Tempilang merumuskan lima tuntutan pokok:
1. Operasional ponton sesuai silo yang ditetapkan.
2. Penetapan tempat penimbangan bijih di Tempilang.
3. PT Timah wajib memfasilitasi keamanan dan penertiban bersama nelayan.
4. Sanksi tegas terhadap pelanggaran operasional oleh CV.
5. Penataan operasional agar tidak mengganggu zona tangkap nelayan.
Tuntutan-tuntutan ini mencerminkan kebutuhan akan tata kelola partisipatif, bukan larangan mutlak terhadap tambang, tetapi penataan yang adil dan berimbang yang memasukkan suara dan hak nelayan.
Reaksi dan Realitas
Reaksi dari tingkat kabupaten sampai pusat beragam. Pemerintah daerah menegaskan komitmen untuk menata ruang dan memfasilitasi dialog. PT Timah menekankan legalitas operasinya dan melaporkan produksi agregat. Namun, bagi nelayan, reklamasi dan program CSR tidak selalu setara dengan pemulihan fungsi ekologi yang hilang atau jaminan pendapatan berkelanjutan.
Ketika kasus kecelakaan terjadi, aparat penegak hukum melakukan pemanggilan dan pemeriksaan. Namun, proses hukum dan hasil investigasi sering bergerak lambat, bahkan menambah rasa tidak aman pada masyarakat lokal.
Jalan Keluar: Rekomendasi Praktis dan Prioritas Kebijakan
Dari pengumpulan fakta, wawancara, dan literatur yang kami kaji, beberapa langkah pragmatis muncul sebagai prioritas:
1. Penguatan mekanisme pengawasan bersama.
2. Studi dampak lingkungan independen.
3. Penataan ulang zonasi laut.
4. Sistem transparansi logistik.
5. Program pemulihan ekonomi lokal.
Langkah-langkah ini bukan solusi instan, tetapi sebuah paket kebijakan inklusif yang mengutamakan keadilan distribusi manfaat dan beban.
Di sebuah sore ketika matahari condong ke barat, Baidi menatap ke arah deretan ponton yang menjadi latar baru perairan Tempilang. Dalam tatapannya ada sesuatu yang tak mudah dijabarkan: kecemasan, duka, dan meski samar dalam harapan. "Kami bukan menolak negara, kami menuntut negara hadir," katanya. Kata-kata itu merangkum inti perjuangan: bukan anti-pembangunan, tetapi pro-keadilan.
Jika pembangunan menegasikan hak-hak lokal, ia bukan lagi pembangunan, melainkan banditisme yang berlabel legal. Jeritan nelayan Tempilang adalah pengingat keras bahwa tata kelola sumber daya alam harus memasukkan keadilan sebagai nilai fundamental.
Tulisan ini menutup satu bab penyelidikan tetapi membuka pintu untuk dialog, bukan dialog formal yang melahirkan jargon, melainkan dialog yang memaksa semua pihak bertanggung jawab, membuka data, dan menimbang manusia di balik angka produksi. Laut Tempilang lebih dari zona ekonomis di peta; ia adalah ruang hidup, pusaka, dan tanggung jawab kolektif.(Belva - Joy)
Tags
berita




